Minggu, 15 Desember 2013

TETAPLAH ANTUSIAS

Nats: Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita? (Roma 8:31)

Saat kita beribadah, bekerja, atau dalam seminar, kita sering mendengar ajakan untuk bersikap antusias. Kita mengenal kata "antusias" sebagai sebuah dorongan untuk tetap bersemangat. Akan tetapi, kata antusias sebenarnya memiliki arti yang jauh lebih dalam dari itu. Kata en-theos, dalam bahasa Yunani, mengacu pada orang yang dirasuki oleh dewa. Kalangan Kristen kemudian menggunakannya untuk menggambarkan penyertaan Tuhan, yang ada di dalam diri kita. Antusias lalu dapat dimaknai sebagai: "Jika Tuhan beserta dengan kita, apa yang bisa kita lakukan?"

Rasul Paulus mengingatkan jemaat untuk senantiasa bersikap antusias karena Allah ada di pihak kita. Nah, apakah Anda dan saya termasuk orang yang antusias? Sungguhkah kita percaya dan berpegang teguh pada kebenaran akan penyertaan Allah? Bagaimana tanggapan kita ketika persoalan hidup yang berat menghimpit kita? Bagaimana sikap kita ketika kehidupan tidak berjalan seperti yang kita harapkan?

Orang yang antusias akan menanggapi kondisi hidup secara berbeda. Ketika masalah besar datang, ia justru berkata: "Terima kasih Tuhan untuk masalah ini. Dengan ini, aku bisa membuktikan bahwa Engkau jauh lebih besar dari masalahku!" Sikap inilah yang menguatkan Paulus ketika menghadapi tekanan, penderitaan, dan penganiayaan. Bagaimana dengan kita? Ingatlah bahwa Allah, yang selalu berada di pihak kita, jauh lebih besar dari persoalan apa pun. Berpeganglah teguh pada kebenaran tersebut, dan bertindaklah secara antusias! --Samuel Yudi Susanto

ANTUSIASME MEMBANGKITKAN KEKUATAN DAN KETABAHAN
DALAM MENGHADAPI PERSOALAN HIDUP YANG PALING SULIT SEKALIPUN.

Roma 8:31-39

e-RH Situs: http://renunganharian.net
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 14 Desember 2013

MENEPATI JANJI

Nats: Ayahku telah menyuruh aku bersumpah... izinkanlah aku pergi ke sana, supaya aku menguburkan ayahku; kemudian aku akan kembali. (Kejadian 50:5)

Film The Terminal mengisahkan seorang pria yang terpaksa tinggal di terminal bandar udara New York karena situasi negara asalnya. Yang membuat saya tersentuh adalah alasan pria itu pergi ke Amerika dan rela bersusah payah menjalani hari-hari di terminal tersebut. Ternyata ia hendak memenuhi janjinya kepada almarhum ayahnya, yaitu janji untuk mendapatkan tanda tangan dari musisi jazz idola ayahnya.

Yusuf juga pernah melakukan hal yang serupa, yaitu menepati janji kepada almarhum ayahnya. Janjinya adalah janji untuk menguburkan jenazah Yakub, ayahnya, di tanah Kanaan. Sebetulnya dengan statusnya sebagai seorang petinggi di Mesir, tindakan ini bisa menimbulkan berbagai tanda tanya di kalangan penduduk. Bukankah di Mesir juga banyak tempat pekuburan? Mengapakah ayah seorang pejabat Mesir tidak mau dikuburkan di sana? Selain itu, tidak sedikit usaha yang harus dikeluarkan untuk memindahkan jenazah Yakub ke Kanaan. Tambahan lagi, kalaupun Yusuf memilih untuk tidak menepati janjinya, Yakub pun pasti tidak akan protes karena ia sudah mati. Tetapi, Yusuf memilih untuk menepati janjinya.

Sebuah janji baik itu kepada pasangan, teman, anak, orangtua, Tuhan, maupun seseorang yang sekarang sudah meninggal, dibuat untuk ditepati. Memang kadang tidak mudah sebab banyak tantangan yang bisa menghadang. Tetapi, segala tantangan tersebut sebetulnya adalah ujian terhadap karakter kita. Adakah janji yang masih belum Anda tepati hingga saat ini? Tepatilah segera! --Alison Subiantoro

JANJI DIBUAT UNTUK DITEPATI,
BUKAN UNTUK DIINGKARI.

Kejadian 50:1-14

e-RH Situs: http://renunganharian.net
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 13 Desember 2013

DINASTI SAMUEL

Nats: Setelah Samuel menjadi tua, diangkatnyalah anak-anaknya laki-laki menjadi hakim atas orang Israel. (1 Samuel 8:1)

Ketika Mutia Hatta putri proklamator Moh. Hatta dihadirkan kepada publik, ketika Bugiakso cucu Jend. Sudirman tampil, atau ketika Sultan Hamengku Buwono X berkiprah serta merta kita akan mengaitkan mereka dengan ketokohan sang ayah atau kakek pada masa lampau. Kita membandingkan sikap dan perbuatan mereka. Publik berharap setidaknya para tokoh itu menyamai jiwa kepahlawanan leluhur mereka.

Demikian pula Samuel. Kita tidak perlu meragukan ketokohannya. Ia nabi dan hakim yang berintegritas selama hidupnya. Orang sangat menghormatinya. Namun, saat rakyat melihat kedua anak Samuel, mereka mendapati sikap yang berbeda. Ketika mereka menjadi hakim, rakyat melihat mereka sebagai hakim yang mengejar laba, menerima suap, dan memutarbalikkan keadilan (ay. 3). Sungguh bertolak belakang dengan karakter Samuel, yang didapati tidak bercacat saat memimpin Israel (bandingkan 1 Sam. 12:1-5).

Apakah Samuel tidak mendidik anaknya dengan baik? Baik Tuhan maupun rakyat tidak menegur Samuel tentang hal ini. Samuel sepanjang hidupnya giat mengajarkan takut akan Tuhan di seluruh tanah Israel.Jadi, kita tidak dapat menuding Samuel begitu saja. Sebaliknya, kita melihat bagaimana setiap orang harus bertanggung jawab dengan pilihan hidupnya masing-masing. Kesalehan orangtua tidak dengan sedirinya menjadikan anak mereka saleh. Tentu saja orangtua tetap dipanggil untuk mendidik dan menjadi teladan sebaik mungkin bagi anak mereka. Dan berdoa, kiranya sang anak memutuskan untuk memilih kebenaran. --Martinus Prabowo

MEMILIH KEBENARAN ADALAH KEPUTUSAN PRIBADI SETIAP ORANG,
NAMUN KITA DAPAT MEMOTIVASI SATU SAMA LAIN UNTUK MELAKUKANNYA.

1 Samuel 8:1-9

e-RH Situs: http://renunganharian.net
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 12 Desember 2013

MENGGEMUKKAN DIRI

Nats: Sambil kamu menggemukan dirimu dengan bagian yang terbaik dari setiap korban sajian umat-Ku Israel? (1 Samuel 2:29)

Praktek "menggemukan diri" rupanya praktek kuno yang terus bertahan sampai sekarang. Korupsi, kolusi, manipulasi, dan penghalalan segala cara untuk menguntungkan diri sendiri. Dalihnya, tuntutan jaman. "Saiki jaman edan, yen ora ngedan, ora keduman." Sekarang zaman gila, kalau kita tidak ikut gila, kita tidak akan mendapatkan bagian kita.

Ironisnya, praktek serupa juga berlangsung di gereja. Tentu orang tidak melakukannya secara terang-terangan, melainkan membungkusnya dengan berbagai dalih rohani. Namun, intinya sama saja: memanfaatkan pelayanan demi kepentingan pribadi. Keuntungannya dapat berupa materi, kedudukan yang semakin terangkat, atau popularitas yang kian meningkat. Saat berhadapan dengan kondisi semacam ini, kisah anak-anak Imam Eli dapat menjadi cermin untuk berintrospeksi.

Apa motivasi kita dalam pelayanan? Benar-benar muncul dari ketulusan, rasa hormat, dan kasih kepada Tuhan, ataukah justru menjadikan pelayanan sebagai kesempatan untuk menonjolkan ego pribadi dan mengangkat popularitas diri? Kisah Hofni dan Pinehas, dengan demikian, adalah sebentuk peringatan. Jelaslah, bahwa dengan sibuk menggemukkan diri, mereka tidak mengenal dan mengasihi Allah yang mereka sembah. Dan, hidup mereka berakhir secara mengenaskan.

Pelayanan sejati muncul ketika kita mengasihi Allah yang kita layani. Dengan itu, kita tidak memandang pelayanan sebagai kesempatan untuk mengejar kepentingan diri sendiri, melainkan suatu kehormatan untuk memuliakan Allah dan mengasihi sesama. --Petrus Kwik

KITA MELAYANI TUHAN BUKAN UNTUK MENDAPATKAN BERKAT,
MELAINKAN UNTUK MENJADI BERKAT.

1 Samuel 2:12-17

e-RH Situs: http://renunganharian.net
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 11 Desember 2013

BATU KRISTAL AJAIB

Nats: Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal. (Yohanes 4:14)

Jika kita berwisata ke Pindul, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pemandu akan memperlihatkan berbagai batu malihan yang membentuk gua itu. Salah satunya batu kristal, yang tampak kelap-kelip saat tersorot cahaya senter. "Batu kristal ini ajaib, " kata pemandu. "Meskipun setiap hari pengunjung mengambilnya, namun ia tidak berkurang sedikit pun." Benarkah? Pikir saya dalam hati. "Tenang, untuk rombongan ini saya juga telah mengambilkannya, " kata pemandu lagi. "Saya mengambilnya dengan kamera."

Ternyata ia hanya bergurau. Tetapi, pernyataannya telanjur menggelitik saya. Benarkah tidak ada sesuatu yang awet di dunia ini? Kebanyakan benda tak ayal bakal menyusut oleh pemakaian. Namun, benarkah tidak ada hal yang abadi?

Jika kita menilik firman Tuhan, kita akan menemukan realitas yang lain. Janji Tuhan berlimpah dengan hal-hal yang kekal, terus-menerus, tidak berkesudahan. Salah satunya janji Yesus dalam percakapan-Nya dengan perempuan Samaria. Yesus tidak menawarkan air sumur biasa, tetapi air "yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal" (ay. 14). Air ini tersedia bagi siapa saja yang haus dan menyambutnya dengan iman (bandingkan Yoh. 7:38). Air ini bakal memuaskan dahaga yang lebih dalam: dahaga akan persekutuan dengan Allah yang tidak dibatasi oleh tempat, tetapi mengalir di dalam roh dan kebenaran (ay. 21-24). Persekutuan yang tidak akan mengering, melainkan semakin kuat memancar dari hari ke hari. Saya bersyukur karena firman Tuhan tidak bergurau. --Arie Saptaji

DUNIA INI AKAN LENYAP,
TETAPI PERSEKUTUAN DENGAN ALLAH TINGGAL TETAP.

Yohanes 4:1-26

e-RH Situs: http://renunganharian.net
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 10 Desember 2013

TAKUT AKAN TUHAN

Nats: Diberikan-Nya rezeki kepada orang-orang yang takut akan Dia. Ia ingat untuk selama-lamanya akan perjanjian-Nya. (Mazmur 111:5)

Felix Baumgartner, pemegang rekor dunia terjun bebas dari Austria, dijuluki "manusia tanpa rasa takut". Namun, benarkah seperti itu? Ternyata justru rasa takutlah yang berperan besar dalam kesuksesannya melakukan berbagai aksi menantang maut. Rasa takut menjadi teman seperjalanannya selama mempersiapkan diri melakukan terjun bebas. Baginya, rasa takut itulah yang membuatnya ekstra hati-hati dan memperhitungkan segala situasi dengan cermat. Dalam wawancara dengan The New York Times, ia berkata, "Saya tahu apa saja konsekuensinya jika ada yang salah. Dan pikiran seperti itulah yang melintas di benak saya setiap saat. Bagaimana kalau saya tidak akan bertemu lagi dengan keluarga saya?" Untuk mengatasi ketakutan itu, ia didampingi seorang psikolog.

Rasa takut dapat diibaratkan sebagai alarm yang Tuhan tanamkan dalam diri manusia. Dengan adanya rasa takut, manusia diharapkan tidak melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya atau orang lain. Tentu saja, ketakutan akan bermanfaat jika ditempatkan sebagaimana mestinya.

Takut akan Tuhan lahir dari dorongan untuk menghormati Tuhan, suatu rasa takut yang memungkinkan seseorang berpikir untuk melakukan hal-hal yang selaras dengan perintah-Nya. Takut akan Tuhan membuat cermat mengambil keputusan dan memilih, bukan hanya berdasarkan kesenangan pribadi, melainkan menurut kehendak-Nya. Rasa takut seperti ini menghindarkan kita dari petaka, dan mengantarkan kita ke dalam kebahagiaan hidup yang sejati. --Piter Randan Bua

TAKUT AKAN TUHAN BERARTI MENGHINDARI GODAAN DOSA
DAN MEMILIH UNTUK MELAKUKAN KEHENDAK-NYA.

Mazmur 111:1-10

e-RH Situs: http://renunganharian.net
Powered by Telkomsel BlackBerry®

BERTINDAK JUJUR

Nats: Tetapi perkara itu dapat diketahui oleh Mordekhai, lalu diberitahukannyalah kepada Ester, sang ratu, dan Ester mempersembahkannya kepada raja atas nama Mordekhai. (Ester 2:22)

Ketika sedang menyeterika, seorang pekerja rumah tangga menemukan sejumlah uang yang tertinggal di kantong celana majikannya. Uang itu memang tidak terlalu banyak, tapi dapat dipakai untuk mengurangi beban biaya perawatan anaknya yang sedang sakit. Lagipula, si majikan kemungkinan besar tidak sadar akan uang yang terselip itu. Sejenak ia menimbang untuk mengambil saja uang tersebut dan menganggapnya sebagai cara Tuhan menolong dirinya dan anaknya. Tetapi, akhirnya ia memutuskan untuk bertindak jujur dengan melaporkan dan mengembalikan uang itu kepada sang majikan.

Mordekhai juga menghadapi situasi serupa. Saat itu ia mencuri dengar rencana Bigtan dan Teresh untuk membunuh Ahasyweros, raja Persia yang sedang menjajah bangsa Yahudi. Sebagai orang Yahudi, Mordekhai tentu merindukan penjajahan ini segera berakhir. Kematian Ahasyweros akan membuat kerinduannya itu segera menjadi kenyataan. Tetapi, bersikap diam dan membiarkan seseorang terbunuh tentu bukan tindakan yang benar. Ia pun memilih untuk melaporkan hal itu kepada Raja dan membiarkan Tuhan sendiri yang membebaskan bangsanya menurut cara dan waktu-Nya. Kelak tindakannya ini mendatangkan keselamatan bagi bangsa Yahudi dari rencana Haman yang ingin memunahkan mereka.

Dalam hidup ini, bisa jadi kita menghadapi dilema serupa. Itulah kesempatan untuk belajar memilih bertindak dengan benar sambil beriman akan kesetiaan dan perlindungan Tuhan bagi kita yang taat kepada-Nya. --Alison Subiantoro

JIKA HARUS MEMILIH, PILIHLAH UNTUK MELAKUKAN PERKARA YANG BENAR,
BUKAN PERKARA YANG MENGUNTUNGKAN KITA SECARA PRIBADI.

Ester 2:19-23

e-RH Situs: http://renunganharian.net
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Minggu, 08 Desember 2013

PEMBAWA KABAR DAMAI

Nats: Betapa indahnya kelihatan dari puncak bukit-bukit kedatangan pembawa berita, yang mengabarkan berita damai dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan berita selamat dan berkata kepada Sion: "Allahmu itu Raja!" (Yesaya 52:7)

Saat gempa mengguncang Yogyakarta pada 2006, ada saja oknum tidak bertanggung jawab yang memperkeruh suasana. Tersebar isu bahwa tsunami segera menyusul. Sungguh ironis, ketika orang tengah ditimpa musibah dan memerlukan uluran tangan, ada oknum yang malah meniupkan kabar simpang-siur. Bukannya mendatangkan penghiburan dan ketenangan, kabar ini jelas membuat warga yang sudah kalut menjadi semakin panik.

Firman Tuhan hari ini, sebaliknya, berbicara tentang seorang pembawa kabar damai, kabar baik, dan kabar keselamatan bagi Sion. Waktu itu, umat Allah sedang tertekan karena runtuhnya Yerusalem dan penindasan Babel. Di tengah tekanan tersebut, Tuhan menyapa dan menenteramkan mereka melalui Nabi Yesaya. Dia memberi janji tentang datangnya pembawa damai dan keselamatan sejati, yakni Yesus Kristus. Dan, itu sungguh benar. Lihatlah bagaimana si lumpuh, si buta, si bisu, si tuli, si kusta, dan orang yang kerasukan setan disembuhkan-Nya. Lihatlah bagaimana Dia memberikan nyawa-Nya, agar setiap pendosa yang menerima-Nya mendapati jalan pendamaian dengan Allah (bandingkan dengan Roma 10:4-15).

Anda dan saya adalah pendosa yang sudah ditebus oleh-Nya. Maka, kita diutus untuk menjadi saksi yang meneruskan berita damai ke seluruh dunia. Di mana saja kita berada, biarlah berita damai itu diberitakan. Baik melalui tutur kata, terlebih melalui tindakan nyata dalam kasih, hingga Kabar Baik Injil pun menyejukkan dan mengubah hidup mereka yang gerah akan dosa. Dan, Allah kita dirajakan. --Susanto

PEMBAWA BERITA KEBENCIAN, KEKERASAN, FITNAH, DIKUTUKI ORANG,
TETAPI PEMBAWA DAMAI DICINTAI DAN DISAMBUT BANYAK ORANG.

Yesaya 52:1-15

e-RH Situs: http://renunganharian.net
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 07 Desember 2013

CIRI KHAS

Nats: Tetapi bukan dengan demikian kamu belajar mengenal Kristus. (Efesus 4:20)

Setiap orang memiliki ciri khasnya masing-masing. Ciri ini mencakup hal-hal yang nampak oleh mata maupun yang bersifat kebiasaan atau kepribadian. Ciri khas ini juga menunjukkan identitas seseorang. Sebagai contoh, seseorang yang memakai seragam polisi akan dikira sebagai seorang polisi. Seseorang yang berbicara dengan logat Jawa akan diduga sebagai orang Jawa.

Sebagai pengikut Kristus, kita pun memiliki ciri khas yang menunjukkan identitas kita dan membuat kita berbeda dari orang lain.Ciri ini tentu bukan bersifat fisik atau penampilan, seperti memakai benda yang bersimbol Kristiani. Sebab orang yang tidak beragama Kristen pun bisa memakai simbol tersebut. Sebaliknya, ciri ini seharusnya mengacu pada sikap hidup yang menampakkan identitas kita sebagai orang yang telah diselamatkan oleh Kristus dan telah menjadikan Dia sebagai Tuhan kita.

Kesadaran akan keselamatan yang telah kita terima tersebut akan menghadirkan sukacita dan pengharapan yang tiada henti di dalam hati kita. Kita tahu bahwa Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik, dan pada akhirnya Tuhan akan memulihkan segalanya di surga kelak. Sementara itu, kesadaran akan siapa Tuhan kita memotivasi kita untuk menjalani hidup sesuai dengan kehendak-Nya.

Identitas ini harus terus kita ingat dalam setiap keputusan dan tindakan yang kita perbuat sehingga hidup kita mencirikan hidup orang percaya. Kemudian, melalui kesaksian itu, kiranya orang lain akan mengenal Tuhan dan hidup kita menjadi berkat bagi mereka. --Alison Subiantoro

CIRI KHAS ORANG KRISTEN ADALAH SIKAP HIDUP SEBAGAI ORANG
YANG TELAH DISELAMATKAN DAN MENJADIKAN YESUS KRISTUS SEBAGAI TUHAN.

Efesus 4:17-32

e-RH Situs: http://renunganharian.net
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 06 Desember 2013

BATAS PERGAULAN

Nats: Kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara seiman adalah orang cabul, tamak, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu. (1 Korintus 5:11)

Kita sering mendengar nasihat semacam ini: "Bergaullah dengan orang yang positif agar kualitas diri kita tumbuh semakin positif." Nasihat yang baik, namun kurang berimbang karena, secara halus, mendorong kita untuk menjauhi orang yang negatif. Dengan kriteria itu, Yesus termasuk orang yang salah bergaul. Dia dijuluki sebagai sahabat orang berdosa, pelahap, dan pemabuk.

Perikop hari ini memuat larangan keras untuk bergaul dengan orang tertentu. Orang seperti apakah yang patut kita jauhi? Orang itu berbuat dosa yang tidak lazim dan lebih bobrok dari perbuatan orang berdosa pada umumnya (ay. 1). Secara tersirat, orang itu bukan sedang bergumul melawan dosa, melainkan menikmatinya dan tidak malu memamerkannya (ay. 2). Dan, orang itu mengaku sebagai orang Kristen, padahal sejatinya ia tidak percaya pada Tuhan Yesus Kristus (ay. 11). Adakah orang yang separah itu di antara kita?

Paulus juga menyatakan, kita hanya mendisiplinkan anggota jemaat (ay. 12). Pendisiplinan ini dilakukan atas kesepakatan jemaat, bukan karena sentimen pribadi (ay. 4-5). Dan, yang tak kurang penting, tujuan akhir pengucilan ini bukan untuk membinasakan jiwanya, melainkan untuk menyelamatkan dan memulihkannya (ay. 5).

Dengan kriteria itu, tampaknya tidak banyak orang yang perlu kita jauhi. Secara umum, kita diarahkan untuk berdamai dengan semua orang (Rom. 12:18) dan mengasihi siapa saja. Terhadap musuh pun, kita diminta mendoakan dan memberkati (Mat. 5:44). Lalu, siapa yang tersisa untuk kita benci? --Arie Saptaji

FOKUS DALAM PERGAULAN BUKANLAH MENGUCILKAN ORANG TERTENTU,
MELAINKAN MELAYANI DAN MENGASIHI SEMUA ORANG.

1 Korintus 5:1-13

e-RH Situs: http://renunganharian.net
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 05 Desember 2013

MENGATASI STRES

Nats: Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab
      kepada-Mulah ia percaya. (Yesaya 26:3)

Menurut artikel dalam Wall Street Journal edisi Juni 2005, "Stres membunuh orang sama atau lebih banyak daripada kebiasaan buruk seperti merokok, minum minuman keras, atau tidak berolahraga. Stres juga merusak hippocampus, bagian otak yang berhubungan dengan ingatan dan belajar. Penelitian di University of London memperlihatkan bahwa stres mental kronis lebih banyak menyebabkan kanker dan penyakit jantung daripada merokok, kolesterol tinggi, dan tekanan darah tinggi."

Stres erat hubungannya dengan masalah keuangan, hubungan sosial, pekerjaan, peristiwa traumatis serta hal-hal kecil, seperti lalu lintas, pelayanan yang buruk, tumpukan cucian kotor, mengantar anak ke kegiatan ektrakurikuler. Karenanya, selama masih hidup di dunia, kita akan terus bersinggungan dengan stres.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Nas hari ini menyebutkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan mendatangkan damai sejahtera. Menurut Don Colbert, kata "damai sejahtera" dalam ayat ini dapat dibandingkan dengan kedamaian Yesus saat tertidur di atas perahu yang dihantam taufan dalam Lukas 8:23-25. Karena lelapnya, Dia tidak terusik oleh badai itu, dan terpaksa harus dibangunkan.

Yesus adalah Raja Damai dan Dia menyediakan damai sejahtera yang sama bagi kita. Kita memperolehnya dengan memusatkan perhatian pada janji Allah dalam firman-Nya dan memercayai-Nya. Ketika menghadapi stres, kita dapat berseru kepada-Nya, menyerahkan segala kekhawatiran kita kepada-Nya, dan memercayai pemeliharaan-Nya. --Piter Randan Bua

             BAGI SIAPAPUN YANG MENGAKU MEMERCAYAI ALLAH
    TIDAK AKAN MEMBIARKAN DIRINYA DIKUASAI STRES DAN KEKHAWATIRAN.

Yesaya 26:1-21

e-RH Situs : http://renunganharian.net

Rabu, 04 Desember 2013

TERIMA YANG BURUK

Nats: Tetapi jawab Ayub kepadanya: "Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?"... (Ayub 2:10)

Timbul sebuah pertanyaan dalam pikiran saya ketika merenungkan jawaban Ayub atas pernyataan istrinya. Saya membayangkan betapa jengkel dan marahnya istri Ayub saat melihat kondisi suaminya yang begitu menyedihkan. Ia bahkan memaksa Ayub untuk mengutuki Allah, yang ia anggap bertanggung jawab atas semua tragedi yang menimpa mereka. Tetapi, Ayub dengan bijaksana menjawab bahwa ia tidak hanya mau menerima hal yang baik dari Allah, tetapi juga hal yang "buruk".

Pertanyaannya, pernahkah Allah memberikan hal yang buruk kepada umat-Nya? Tidak pernah, bukan? Allah selalu memberikan hal yang terbaik untuk umat-Nya! Tragedi bukanlah pemberian Allah, namun Dia mengizinkan hal itu menimpa kita, agar kita lebih mengenal kuasa-Nya. Iman kita makin teruji ketika menghadapi dan melewati kondisi yang buruk itu. Reaksi dan respon kita terhadap sebuah tragedi memperlihatkan seberapa besar pengenalan kita akan Allah.

Ayub memandang tragedi yang dialaminya dengan cara yang benar. Ia tidak pernah mempersalahkan Allah sebab ia tahu bahwa Allah tidak pernah salah. Jujur saja, ketika mengalami sebuah tragedi hidup, kita acapkali dengan mudah merasa bahwa Allah tidak berlaku adil terhadap kita. Kita lupa bahwa semua itu pada akhirnya akan mendatangkan kebaikan. Sekalipun saat ini kita tidak tahu kapan dan apa "hal terbaik" yang akan Tuhan nyatakan, kita dapat memilih bagian yang terbaik: percaya. Ya, percaya bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan. --Samuel Yudi Susanto

ALLAH DAPAT MENGGUNAKAN HAL-HAL YANG TAMPAK BURUK SEKALIPUN
UNTUK MENYATAKAN KEBAIKAN-NYA DALAM HIDUP KITA.

Ayub 2:1-10

e-RH Situs: http://renunganharian.net
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 03 Desember 2013

MENANGKAP TELINGA ANJING

Nats: Orang yang ikut campur dalam pertengkaran orang lain adalah seperti orang yang menangkap telinga anjing yang berlalu. (Amsal 26:17)

Pernah iseng menangkap atau menjewer telinga anjing yang sedang tidur atau lewat di depan kita? Tentu si anjing akan menggeram marah. Masih beruntung kalau Anda tidak digigit olehnya. Seperti itulah gambaran penulis Amsal tentang orang yang suka turut campur dalam urusan orang lain.

Apakah kita dilarang terlibat dalam konflik orang lain? Tidak selalu. Kita boleh melibatkan diri kala diminta untuk memberi nasihat, koreksi, atau menjadi konselor untuk pertengkaran orang lain. Kita juga boleh bertindak lebih jauh ketika konflik yang terjadi mulai mengancam keselamatan jiwa seseorang, misalnya dengan menelepon polisi atau aparat keamanan setempat. Tindakan ini menunjukkan kepedulian kita terhadap sesama. Kita juga perlu mengingat bahwa keterlibatan kita dimaksudkan untuk mendatangkan kebaikan bagi sesama dan menciptakan perdamaian, bukan memperuncing pertikaian.

Mungkin kita pernah terjebak dalam masalah karena ikut campur perkara orang lain. Bukannya menjernihkan keadaan, kita malah memperkeruh suasana. Dan kita pun terluka ketika si "anjing yang berlalu" itu menerkam kita. Karena itu, selama kita bukan bagian dari suatu masalah dan selama kita tidak mampu menawarkan penyelesaian masalah yang efektif, alangkah baiknya jika kita tidak menceburkan diri ke dalam pertengkaran orang lain. Sebaliknya, jika kita yang terlibat dalam suatu masalah, jangan menyeret orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan tersebut. Kita akan melukai orang itu. --Widodo Surya Putra

ORANG YANG SUKA CAMPUR TANGAN MEMPERKERUH KEADAAN,
PEMBAWA DAMAI MENDATANGKAN PENYELESAIAN MASALAH.

e-RH Situs: http://renunganharian.net
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 02 Desember 2013

TIDAK TERKABUL

Nats: Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di surga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya. (Matius 7:11)

Sekelompok pemuda berdoa, memohon agar Tuhan tidak menurunkan hujan karena mereka telah berencana untuk berkemah selama beberapa hari. Sementara itu, tak jauh dari lokasi perkemahan, sekelompok petani juga berdoa. Tetapi, mereka malah meminta agar Tuhan menurunkan hujan untuk menyirami sawah yang mulai mengering. Kalau Anda adalah Tuhan, doa yang mana yang akan Anda kabulkan?

Sebuah doa permohonan yang isinya menurut kita baik bisa jadi tidak terkabul. Hal itu bukan karena Tuhan tidak mau, apalagi tidak mampu, untuk melakukannya. Dia adalah Allah yang Maha Pengasih dan Mahakuasa. Dia tidak akan menepiskan permintaan kita begitu saja (ay. 7). Hanya masalahnya, dalam ketidaktahuan kita, permohonan tersebut ternyata tidak akan mendatangkan kesejahteraan terbaik bagi kita dan orang lain. Karena itu, dalam kasih dan kebijaksanaan-Nya, Dia menolaknya demi kebaikan kita semua (ay. 11). Misalnya, andaikan permohonan para pemuda tadi dikabulkan, ada kemungkinan para petani akan menderita karena mengalami gagal panen.

Kadang-kadang tidak mudah memahami hal ini, apalagi kalau kita sudah memohon dengan sungguh-sungguh dan tak kenal lelah. Salah satu langkah yang dapat kita lakukan adalah mempertimbangkan hal buruk apa yang mungkin terjadi jika permohonan kita terkabul, baik itu terhadap diri kita sendiri maupun terhadap orang lain. Kita belajar untuk melihat penolakan tersebut sebagai alternatif yang terbaik bagi semua orang, dan bersyukur atas kearifan Tuhan. --Alison Subiantoro

KETIKA SEBUAH DOA TIDAK TERKABUL,
BERARTI MEMANG ITU JAWABAN YANG TERBAIK MENURUT-NYA.

Matius 7:7-11

e-RH Situs: http://renunganharian.net
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Minggu, 01 Desember 2013

YANG MISKIN BERBAHAGIA

Nats: Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang punya Kerajaan Allah. (Lukas 6:20)
Mana bisa? Tidak realistis! Bukankah kemiskinan sulit diidentikkan dengan kebahagiaan? Kita cenderung merohanikan kata "miskin" di sini sebagai miskin yang bukan karena kekurangan harta benda. Memang dalam Injil Matius dipakai istilah "miskin di hadapan Allah", namun Injil Lukas memang memaksudkan "miskin" di sini sebagai miskin secara sosial-ekonomi. Mereka inilah yang disebut berbahagia. Betulkah demikian?

Perikop sebelumnya menunjukkan bahwa para pendengar Yesus adalah kebanyakan orang yang baru disembuhkan dan dipulihkan. Mereka orang kebanyakan, orang kecil, orang tak berlimpah harta benda, rakyat jelata. Yesus menyapa mereka berbahagia dalam arti bahwa mereka itulah sasaran Injil Kerajaan Allah. Mereka, meskipun dalam kemiskinan, diterima, bahkan diindahkan Allah.

Tentu hal ini bukan berarti bahwa orang kaya ditolak dalam Kerajaan Allah. Bukan. Namun, fokus ucapan Yesus di sini adalah orang miskin, bukan orang kaya. Penerimaan kepada orang miskin tidak otomatis berarti penyingkiran orang kaya. Kerajaan Allah tidak diskriminatif.

Justru itulah yang semestinya menjadi cermin bagi kita umat Kristen sepanjang zaman. Justru karena Kerajaan Allah itu tidak diskriminatif dalam semua segi, termasuk segi ekonomi, marilah kita meneladaninya. Orang akan diberkati ketika melihat Kerajaan Allah itu terpancar dalam kehidupan gereja dan umat Kristen yang tidak membeda-bedakan hak orang untuk berbahagia, baik orang miskin maupun orang kaya. --Daniel K Listijabudi

SYUKUR KEPADA TUHAN YANG KASIH SAYANG-NYA
TIDAK MENGENAL KELAS DAN STATUS SOSIAL.

Lukas 6:20-26

e-RH Situs: http://renunganharian.net
Powered by Telkomsel BlackBerry®