Selasa, 18 Januari 2011

MENGHARGAI KEHIDUPAN

Anak lelaki itu terlahir cacat tanpa dua tangan. Dua kakinya pun
tak sempurna, tak cukup kokoh untuk menopangnya berdiri. Apabila
"berjalan", ia harus menggulingkan badannya di lantai. Namun, yang
membuat saya terkesan tatkala melihatnya melalui tayangan televisi
adalah sorot matanya. Tegas. Berani. Gigih. Di panti penampungan
itu, ia disayangi dan dilatih untuk mandiri. Dengan jemari kakinya
yang mungil, ia mampu memakai dan melepas baju, makan, menggosok
gigi, menulis, melukis. Ia dibuang orangtuanya sewaktu bayi. Kini
usianya sudah 10 tahun. Kehidupan tidak ramah kepadanya, tetapi ia
menjalaninya dengan tangguh.

Orang Yahudi di masa Perjanjian Lama sangat menghargai kehidupan.
Sebab, hanya ketika hiduplah manusia dapat berkiprah ini dan itu. Di
alam maut, semua nihil dan mustahil. Maka, umur panjang dipandang
sebagai berkat dan kemuliaan (Amsal 3:16). Hidup lebih baik daripada
mati. "Anjing yang hidup lebih baik daripada singa yang mati, " kata
Pengkhotbah. Jika Tuhan berkenan, hidup patut dipertahankan dan
diperjuangkan. Bahkan ketika penyakit mengancam, doa dan pengharapan
untuk hidup tak boleh surut. Pergumulan ini tertuang jelas dalam
Mazmur 88. Dalam menghargai hidup, ada perjuangan untuk
mempertahankan dan menjalaninya.

Apakah kita menghargai kehidupan? Bagaimana dengan kenyataan banyak
janin digugurkan? Bom teror diledakkan? Penggunaan narkoba yang
mempertaruhkan masa depan dan nyawa? Apalagi kecenderungan bunuh
diri? Menghargai kehidupan memang butuh perjuangan. Ketangguhan
bocah cacat itu menggugah sekaligus menantang. Hidup karunia Tuhan
layak dijalani dengan tangguh --PAD

SIAPA SAJA YANG MENGHORMATI TUHAN, IA MENGHARGAI KEHIDUPAN
SEBAB TUHANLAH PENCIPTA KEHIDUPAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar