Selasa, 31 Mei 2011

MENAKAR DAN MENGUKUR

Seorang tua sedang merenung. "Dulu saya lahir dari keluarga
miskin. Ketika melihat orang kaya, saya bertanya-tanya mengapa
mereka egois, tidak mau menolong orang miskin memperbaiki masa
depan, bahkan tak jarang malah memandang rendah? Namun, ketika
kemudian saya menjadi kaya setelah bekerja keras, saya merasa orang
miskin itu malas, tak mau berinisiatif, maunya ditolong, iri, dan
tak pernah berterima kasih?" Pak tua itu menggeleng-geleng menyadari
kontradiksi di hati dan perasaannya. Mengapa begini?

Tak jarang dalam hidup ini, kita memiliki standar ganda dalam
"menakar dan mengukur". Kita kerap menilai orang lain dari "takaran"
atau pandangan subjektif kita, dan tak mampu memahami orang lain
dari sudut pandang orang itu. Kita kerap menuntut orang lain
bersikap dan berbuat seperti yang kita mau, padahal kita sendiri
belum tentu melakukan yang sebaliknya. Ketika berbuat salah, kita
tak ingin dihakimi. Sebaliknya, ingin dimaafkan dan dibantu keluar
dari kesalahan. Ketika membeli, kita menginginkan barang yang
berkualitas dengan harga bagus, dan akan sangat marah jika
dibohongi. Ketika susah, kita ingin orang lain menolong.

Apabila kita rindu tidak dihakimi, biarlah kita jangan menghakimi.
Apabila kita rindu dimaafkan ketika bersalah, biarlah kita jangan
menghukum, tetapi mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Sebab
ukuran yang kita pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepada kita.
Perhatikan ayat 38 "berilah": pengampunan, maaf, kesabaran,
kebaikan, pengertian, dukungan, kekuatan, kesempatan, pertolongan.
"... dan kamu akan diberi, " demikian sabda Kristus. Mau bukti? Coba
terapkan janji Tuhan ini --SST

JALANI HIDUP SEBAGAIMANA KITA HARAP ORANG LAIN JALANI
MAKA ITU PULALAH YANG AKAN KITA DAPATI

Lukas 6:37-38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar