Selasa, 31 Mei 2011

Mengenal Anak "Underachiever"

Pernahkah Anda mendengar istilah "anak underachiever"? Mungkin istilah ini memang cukup asing bagi sebagian dari kita. Namun sebenarnya anak-anak "underachiever" banyak kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Edisi e-Konsel kali ini akan membahas mengenai anak underachiever, mulai dari definisi, ciri-ciri, sampai penyebabnya. Jangan lewatkan juga kolom Tanya Jawab yang akan menambah sekaligus memperlengkapi wawasan Anda sebagai konselor.
CAKRAWALA: ANAK UNDERACHIEVER  Anak "underachiever" adalah anak yang berpotensi (berbakat), namun tidak berprestasi. Beberapa fakta mengenai anak "underachiever" -- berdasarkan hasil penelitian:  1. "Underachiever" di Amerika ternyata jumlahnya cukup banyak, sekitar 10-40 persen dari populasi anak berbakat/istimewa (gifted). Mengapa anak istimewa? Karena penelitian terhadap anak "underachiever" biasanya dilakukan kepada anak istimewa, yang IQ-nya di atas rata-rata.  2. Prestasi yang rendah merupakan gejala dari berbagai masalah pribadi sosial. Artinya, masalah "underachiever" ini sangat kompleks, bisa dari masalah pribadi (kesehatan, psikologis) dan sosial (keluarga, sekolah, teman).  3. Sekolah menjadi prioritas yang terakhir. Bagi anak "underachiever" kegiatan lain yang mereka sukai lebih dominan.  4. Intervensi diri memberi hasil yang lebih efektif. Tanda-tanda kebiasaan buruk anak harus dikenali sejak awal. Misalnya, ia kurang berprestasi. Kalau ditangani sejak dini akan semakin cepat membantunya. Namun, hal itu bukan berarti kalau anak kita sudah besar, tidak ada yang bisa kita lakukan. Masih bisa, hanya butuh kesabaran dan usaha yang ekstra sampai kita menemukan metode yang tepat untuk anak-anak tersebut.  Definisi "underachiever" adalah prestasi akademis anak lebih rendah daripada perkiraan berdasarkan umur, kemampuan, dan potensi. Misalnya anak kelas 2 SD, seharusnya bisa perkalian sampai 10, namun anak itu tidak bisa (berdasarkan perkiraan umur). Berkaitan dengan kemampuan dan potensi, sebagai contoh, kita melihat anak kita pintar bermain suatu permainan (game). Ia dengan sangat cepat menguasai permainan tersebut, tetapi untuk belajar berhitung dan menulis di sekolah, dia lamban sekali. Kita tahu anak kita cerdas, namun tidak menonjol di sekolah.  Ciri-ciri "Underachiever"  1. IQ lebih tinggi daripada prestasi. 2. Prestasi tidak konsisten: kadang bagus, kadang tidak. 3. Tidak menyelesaikan pekerjaan rumah (PR). 4. Rendah diri. 5. Takut gagal (atau sukses). 6. Takut menghadapi ulangan. 7. Tidak punya inisiatif. 8. Malas, bahkan depresi.  Ada banyak penyebab anak menjadi "underachiever", termasuk lemah belajar (learning disabled). Namun, kali ini saya akan memfokuskan pada satu penyebab, yaitu cara kita membimbing mereka baik di rumah maupun di sekolah dengan memakai metode "one size fits all" (atau dalam ukuran baju disebut free size atau all size). Artinya, anak dipaksa mengikuti sistem yang ada. Misalnya, guru mengatakan bahwa kurikulum sudah demikian, maka anak harus mengikutinya. Lalu apa kata orang tua? Orang tua hanya menurut dan berkata, "Apa yang dikatakan guru sudah bagus. Kamu harus ikut sistem sekolah!" Prestasi anak menjadi rendah, namun tidak pernah terpikirkan bahwa mungkin caranya yang salah, bukan anaknya.  Lalu bagaimana solusinya? Anak-anak "underachiever" butuh kasih sayang yang lebih. Orang tua dan para pendidik perlu menerima anak apa adanya. Untuk mengatasi metode "one size fits all", kita butuh program yang sangat spesifik untuk tiap-tiap anak dalam sistem/kurikulum yang kita susun. Oleh karena itu, penting sekali bagi kita untuk mengenali keunikan anak, sehingga kita bisa menciptakan lingkungan yang menjamin kesuksesan bagi tiap anak.   TANYA JAWAB: MEMBANTU ANAK YANG GELISAH SAAT BELAJAR  Mengajar anak-anak yang masih kecil (terkhusus mereka yang masih berada di bangku TK dan SD), merupakan suatu tantangan tersendiri bagi seorang guru. Mengapa demikian? Karena kebanyakan dari mereka cenderung tidak bisa duduk dengan tenang saat belajar, mendengarkan cerita, atau mengerjakan tugas. Mereka tidak bisa duduk dan ingin terus bergerak. Bagaimana seorang guru menyikapi keadaan ini? Simaklah sesi tanya jawab di bawah ini.  Konseli: Saya memiliki seorang murid, sebut saja A. Ia sering gelisah dan tidak bisa duduk dengan tenang saat saya bercerita. Apa yang harus saya lakukan?  Konselor: Beri dia pilihan untuk duduk di lantai atau mengubah posisi dengan hati-hati, asalkan tidak mengganggu anak-anak di sekitarnya. Biarkan dia bertanggung jawab untuk menghubungkan fakta-fakta atau gagasan utama cerita yang Anda sampaikan.  Konseli: Saya ingin murid-murid saya mengerti konsep yang saya ajarkan. Bagaimana saya mengujinya?  Konselor: Biarkan mereka menjelaskan konsep tersebut kepada Anda (atau orang tua, guru, atau teman sekelas) baik secara verbal atau bentuk tulisan.  Konseli: Saya ingin murid-murid saya mengikuti petunjuk-petunjuk saya.  Konselor: Mintalah mereka mengulangi kembali apa yang mereka dengar untuk memeriksa pengertiannya terhadap petunjuk tersebut.  Konseli: Saya ingin A, tidak mengganggu anak-anak lain di sekitarnya. Bagaimana cara saya mendekatinya?  Konselor: Tantang dia untuk memunculkan cara-cara kreatif dalam bergerak tanpa mengganggu siapa pun. Sebagai contoh, dapatkah ia bercerita dengan bercakap-cakap, mencatat, dan menggerakkan kakinya dengan tenang?  Selamat mempraktikkan, semoga berhasil. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar