Rabu, 05 Januari 2011

Bertekad Untuk Berubah

Pada tahun 70-an, pekerjaan ayah saya (S) hanyalah seorang kondektur bus
antar kota di daerah kami. Karena keadaan ekonomi keluarga kami pada waktu
itu sangat memprihatinkan, saya terpaksa berhenti sekolah lalu membantu
orangtua untuk mencari nafkah dengan berjualan nasi dan kue. Pada bulan
Februari 1971, saya mulai menjual nomor toto PON yang diundi setiap malam.
Mula-mula, saya hanya mengedarkan ke tetangga-tetangga terdekat. Pada hari
berikutnya mulai berkembang hingga ke daerah-daerah lain. Ketika saya
menjadi agen, omsetnya sudah semakin meningkat dan penghasilannya pun
semakin bertambah besar. Tetapi kehidupan saya justru semakin jatuh dalam
berbagai dosa. Pada suatu hari, saya pernah terlambat menyetorkan
kupon-kupon tersebut kepada bandar. Akibatnya, saya harus menjadi bandar
sendiri. Keesokan harinya saya malah mendapat untung besar. Sejak peristiwa
itu, saya mengambil keputusan untuk menjadi bandar toto PON. Agar mendapat
untung yang besar, saya selalu berkonsultasi dengan paranormal ataupun
dukun-dukun yang terkenal, dan mereka membekali saya dengan ilmu hitam.

Sekitar tahun 1974, ketika saya membandari putaran nomor undian yang
dikeluarkan melalui siaran radio setiap malam pukul 24.00 WIB, ternyata
banyak di antara langganan yang memasang nomor undian tersebut mendapat
nomor pemenang. Sebagai bandar, saya harus membayar nomor-nomor yang menang
itu. Tetapi karena terlalu banyak di antara mereka yang mendapat nomor
sebagai pemenang, mengakibatkan saya tak mampu membayar mereka. Secara
diam-diam saya melarikan diri ke Jakarta. Setelah sempat bingung dan tidak
tahu apa yang dilakukan, saya sepakat dengan seorang teman untuk mengontrak
sebuah rumah petak yang terbuat dari bilik bambu yang berada di pinggir rel
kereta api di Jelambar, Daan Mogot. Setelah dua bulan tinggal di bedeng
tersebut, uang saya mulai habis. Untuk memenuhi tuntutan perut yang tidak
bisa di tunda lagi, akhirnya saya bekerja sebagai kuli bangunan, dengan
gaji Rp. 400 per hari.

Hidup di Jakarta dengan gaji seperti itu tidaklah cukup untuk memenuhi
kebutuhan saya setiap hari. Karena itu setelah bekerja, saya bergabung
dengan teman-teman di proyek dan para gelandangan ataupun preman-preman di
Grogol untuk menggarap pekerjaan sampingan. Pada mulanya saya hanya
berpura-pura meminjam korek api, lalu meminta rokok, kemudian meminta jam
tangan dan dompet, hingga semua miliknya. Kalau ia tidak memberikan, kami
tidak segan-segan menusukkan pisau yang sudah ditempelkan diperutnya. Pada
bulan November 1974, adik saya datang menemui saya untuk mengajak kembali
ke kampung halaman. Setibanya saya di Cepu, para pemasang nomor undian yang
pernah menang taruhan dan tidak saya bayar tersebut, ternyata tidak
mempersoalkan hal itu lagi, maka saya mulai bekerja kembali sesuai profesi
yang dulu.

Di bulan Januari 1975, ketika saya berada di Surabaya, saya bertemu dengan
seorang gadis yang akhirnya menjadi istri saya. Ketika istri saya
mengandung anak kami yang pertama, istri saya selalu memperingatkan agar
saya meninggalkan pekerjaan kotor tersebut. Tetapi karena hidup saya masih
dipenuhi oleh kuasa gelap, maka nasihat apa pun dari istri saya tidak
pernah saya hiraukan. Pada suatu hari, ketika saya kembali ke rumah di pagi
hari, saya tidak menemukan istri saya di rumah. Setelah saya mencarinya,
ternyata dia berada di rumah orangtuanya. Saya kemudian mengajaknya pulang
ke rumah kami di Padangan. Sejak saat itulah saya kasihan melihatnya dan
saya mulai berubah serta mulai pergi ke gereja bersamanya.

Ketika anak pertama kami lahir di bulan Januari 1976, seorang saudara
meminta saya datang ke Jakarta untuk bekerja. Tidak berapa lama kemudian
setelah saya, istri, dan anak saya datang ke Jakarta, ternyata lowongan
pekerjaan yang dijanjikan itu sudah dimasuki oleh orang lain. Selama dua
tahun kami tinggal di rumah saudara tersebut, saya bekerja sebagai buruh di
pabrik keramik dan kami dikaruniai seorang anak lagi. Kebutuhan sehari-hari
kami semakin meningkat, tetapi perusahaan tidak menepati janji untuk
mengangkat saya menjadi pegawai tetap dan menerima gaji lebih baik. Agar
tidak merepotkan saudara tersebut, akhirnya kami memutuskan untuk kembali
ke kampung.

Pada bulan Januari 1980, saya kembali ke Jakarta untuk bekerja di proyek
Senen lantai IV, toko funiture. Ketika teman-teman menghantar saya
berangkat ke Jakarta dan salah seorang teman memberikan secarik kertas yang
di dalamnya tertulis, "Tetapi carilah dahulu kerajaan Allah dan
kebenaran-Nya maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu." Setelah tiga
bulan bekerja, saya menjemput istri dan anak-anak saya datang ke Jakarta
untuk berkumpul bersama. Sejak saat itu saya "bertekad untuk berubah".
Melalui proses yang berat dan panjang, saya mulai meninggalkan dosa-dosa
saya di masa lalu, serta mulai setia beribadah kepada Tuhan. Tahun 1982,
saya dibaptis dan menerima Yesus sebagai Juru Selamat saya -- Ia tidak
hanya memulihkan rumah tangga saya tetapi juga memberikan pekerjaan baru
dengan gaji yang cukup.

Pada tahun 1989, saya mengundurkan diri dari perusahaan dan Tuhan
membimbing saya untuk memulai sebuah usaha. Walaupun tempat usaha itu masih
mengontrak, namun Tuhan telah memberkati saya dengan luar biasa.
Pertumbuhan iman saya berkembang dengan baik. Pada bulan Desember 1996,
seorang teman mengundang saya menghadiri Christmas Dinner yang
diselenggarakan di Hailai Restaurant, Jakarta. Melihat teman-teman
pengusaha yang turut mengambil bagian dalam acara tersebut, hati saya
semakin dikuatkan untuk lebih setia melayani Tuhan. Ketika krisis ekonomi
melanda Indonesia, hal itu membawa dampak negatif bagi usaha saya. Sejak
bulan Agustus 1997, tagihan-tagihan saya mulai macet sehingga kegiatan
usaha mulai menurun. Tetapi kejadian itu tidaklah membuat saya menjadi
lemah, malahan membuat saya semakin giat membantu melayani Tuhan.

Pada bulan Agustus 1998, ketika sedang mempersiapkan sebuah acara outreach
dinner di Kelapa Gading, salah seorang pelanggan kami yang pernah membayar
tagihannya dengan cek kosong, meminta saya untuk datang ke kantornya.
Ternyata hari itu cek kosong tersebut sudah dapat dicairkan. Begitu juga
dengan tagihan-tagihan yang lain. Dalam waktu empat bulan, hampir semua
pelanggan kami membayar tagihannya tepat waktu, sehingga saya bisa melunasi
hutang-hutang saya di Bank dengan tepat waktu juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar