Jumat, 01 April 2011

SEANDAINYA

Seandainya saya menikah-tentu saya tidak kesepian lagi. Seandainya
gaji saya lebih besar tentu kehidupan keluarga saya lebih harmonis.
Seandainya saya tidak terjebak di kota kecil ini tentu bisnis saya
berjalan lebih lancar. Seandainya istri saya penuh pengertian tentu
saya bisa melayani Tuhan secara lebih leluasa. Seandainya.
Seandainya. Seandainya.

Pernahkah pikiran semacam itu mengerumuni benak Anda? Lumayan
sering, ya? Kita menginginkan kehidupan yang lebih baik, lebih
bahagia. Dan, kita mengira, jalan untuk mencapainya ialah berubahnya
keadaan atau orang di sekitar kita.

Jemaat di Korintus juga berpikiran demikian. Untuk menjadi orang
kristiani yang lebih baik, orang yang tak bersunat perlu bersunat;
seorang hamba perlu memerdekakan diri; yang melajang perlu menikah.
Bagaimana tanggapan Paulus? Menurutnya, bagi orang yang telah
dipanggil Allah, tidaklah penting keadaan lahiriahnya. Kalau bisa
diubah menjadi lebih baik, mengapa tidak? Namun kalau tetap sama,
tak perlu dipaksakan untuk berubah. Kalaupun malah menjadi lebih
buruk karena kita dianiaya, misalnya itu pun tidak masalah.

Faktor yang paling menentukan ialah kehidupan baru yang
dianugerahkan kepada kita: bahwa sekarang kita "tinggal di hadapan
Allah", hidup bersama dengan Allah. Kebahagiaan hidup kita tidak
lagi ditentukan oleh faktor lahiriah, melainkan oleh faktor
batiniah: hubungan kita dengan Allah. Kita menjadi milik-Nya,
dipanggil untuk mengasihi dan menaati-Nya. Dengan kesadaran ini kita
dapat hidup tenang dan tenteram, bagaimanapun kondisi lahiriah kita,
terbebas dari lingkaran setan "seandainya" --ARS

KEBAHAGIAAN HIDUP BUKAN DITEMUKAN SAAT KITA NYAMAN
MELAINKAN SAAT KITA MELAKUKAN MAUNYA TUHAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar